Cerita Hati Kita

Kamis, 01 Desember 2011

Engkau duduk di situ

Diam tersipu malu

Mau mendekati aku



Aku mulai resah

Hati ku jadi resah

Melihat diri mu aku resah



Tapi hati ini kuat menyatakan

Kau terkini duduk di cerita hati

lagu cinta kita bermula

dari mata turun ke jiwa

dari teman menjadi cinta

dan berjanji untuk setia

sehidup semati kita

menjanji kan bahagia

untuk kita berdua selamanya



jangan engkau jangan pergi

jangan tinggal ku sendiri

jangan tinggal kan carta hati



kau janji kan bahagia

ku janji kau tak terluka

teruslah berada di cerita hati kita............

Kamis, 17 Juni 2010

kejujuran

Sabtu, 29 Mei 2010

Aku terkejut. Kaget. Kala mendapati teman lama saya berada di negeri seberang akhir bulan Maret yang lalu. Tak kusangka. Tak kukira. Dia telah menjejakkan kaki lebih dulu di negeri Singa itu. Sebuah tempat yang belum pernah saya kunjungi. Ya, di balik telepon genggamnya dia bercerita bahwa saat ini dia sedang berada di sana. Itulah keterkejutanku yang pertama. Bukan iri, bukan. Hanya terkaget – kaget saja. Tumben, dalam rangka apa dia ke sana?Dengan tangkas dia menjawab silaturohim, mumpung sudah dekat. Tinggal nyebrang dari Batam. Dan mohon doanya di sini baru tiarap, begitu katanya.
Tapi keterkejutanku makin bertambah, ketika dia bercerita tentang bagaimana dia bisa sampai ke sana. Sebab ini bukan masalah cari kerja, bukan pula tender proyek atau memburu pelarian layaknya KPK mengejar buronannya. Cuma sekedar amal sholih, hanya sebuah penyaksian semata. Penyaksian terhadap hamba Allah yang menshodaqohkan uangnya sebesar 3 M untuk pembebasan tanah, pembangunan komplek masjid, pondok dan fasilitas pendukungnya. Seorang hamba ini berada di bilangan Jakarta dan berniat amal jariah jauh – jauh untuk warga di seputar Babel sana. Mendengar 3M –nya saja, saya mengernyitkan kening, tanda takjub. Jumlah yang sangat – sangat banyak untuk ukuran orang seperti saya. Hati pun berbisik, kapan bisa shodaqoh sebanyak itu?

Keterkejutanku semakin menjadi. Hati pun jadi penasaran bin gregetan. Lho kok jauh – jauh amat sih shodaqohnya, sampai ke Babel sana? Jawaban teman saya membuat saya mati kutu. Tamparan yang hebat. Nasehat yang dalam. Cermin yang tajam menghunjam. Dia menerangkan di Jakarta dan sekitarnya sudah terjadi krisis kejujuran. Semua sudah bermain di ranah bisnis. Prinsip: obah upah. Segala macam gerak – gerik harus dikonversi dengan uang. Orang mengejar komisi dan komisi dari setiap transaksi, walau kata itu dari sedekah. Terlalu. Gila. Itu mungkin kata yang sepadan sebagai luapan emosi. Kalau di Jakarta uang 3 M itu, mungkin yang dibelikan tanah dan untuk membangun fasilitas di atasnya berkurang dari 3 M. Sebab dipotong komisi ini dan itu. Tapi kalau di Babel sini dari 3M dibelikan tanah dan dijadikan bangunan juga senilai 3M. Nggak kurang, nggak lebih. Kata – kata penutup yang tipis dan lembut, tapi menyayat bagaikan pedang.

Menyambung pembicaraan di atas, saya memberanikan diri menyebutkan beberapa proyek – bahkan sebagian boleh disebut proyek ambisisus - di seputar Jabodetabek yang bernilai M-M-an, yang menanti uluran tangan, tapi kenapa tidak diajukan saja ke yang bersangkutan? Padahal ada yang sampai bertahun – tahun malahan, pontang – panting, namun belum juga kelar. Jawabnya jelas, karena ketiadaan kepercayaan dan lunturnya sebuah kejujuran. Apa mau dikata. Itulah yang terungkap dari sedikit alasan sang dermawan mengalihkan donasinya ke daerah yang masih tumbuh dengan akar kuat kejujuran.

Sedih bercampur haru. Bangga bercampur duka mendalam. Bangga masih ada Ustman – Ustman di jaman seperti ini. Masih ada orang – orang jujur nun jauh di sana. Masih ada orang yang mau menerima dan memberi sedekah dengan ikhlas. Amanah. Bisa dipercaya. Sedih mendengar terkikisnya nilai – nilai kejujuran umat yang terjadi di sini. Sedih dengan hilangnya sebuah pondasi dasar indahnya kehidupan yaitu kejujuran. Sedih, semakin kabur batas – batas iman dan munafiq. Selalu ada udang dibalik batu. Ataukah ini semua hanya gaya kehidupan metropolis? Potret suram budaya instan?

Padahal kanjeng Nabi Muhammad SAW selalu mewanti – wanti, mengingatkan kepada umatnya:”Alaikum Bish – shidqi, menetapilah kalian atas kejujuran, maka sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menuntun kepada surga, dan tidak henti – hentinya seorang laki – laki berbuat jujur dan bersungguh – sungguh mencari kejujuran/kebenaran sehingga ditulis di sisi Allah orang yang jujur - Shiddiq.” (Rowahu at-Tirmidzi –Abwaabu birr washilah - dari Abdullah bin Mas’ud/K. Adab hal 59).

Merasa atau tidak, situasi ini perlu dicermati. Hendaklah setiap diri mau bercermin lagi. Semua harus punya andil. Apa yang dikatakan sahabat saya boleh jadi benar adanya. Terkadang kita menggadai kejujuran untuk sutau nilai yang kecil adanya. Kita rela berbohong untuk menang tender. Kita kadang suka menipu untuk keperluan tertentu. Kita rela menukar kejujuran dengan hal yang remeh dan rendah, yaitu dunia. Padahal dalam patron kehidupan yang sebenarnya akhirat adalah lebih baik dari dunia dan seisinya. Apakah kita dilupakan dengan hal itu?

Sekarang tinggal bagaimana kita semua menjawabnya. Merubah tabiat dan akhlak kita, atau malah membenarkannya. Waktu yang akan membuktikannya.

KEPEMIMPINAN



Dua hari ini saya berturut – turut didaulat memberikan presentasi masalah kepedulian terkait HSE (Health Safety and Environment), kalau bahasa kita dikenal dengan K3L yaitu Kesehatan Keselamatan Kerja dan Lingkungan. Pada hari pertama tak kurang dari 30 orang terdiri dari manajemen dan setingkat supervisor ke atas, yang mengikuti acara workshop tersebut. Di hari kedua lebih dari 50 orang dari tingkat supervisor ke bawah. Sebenarnya ada 5 topik yang dibahas dalam workshop tersebut. Pertama masalah Awareness (kepedulian), kedua masalah PPE (Personal Protective Equipment) atau Alat Pelindung Diri (APD), ketiga masalah Permit To Work (PTW) atau Ijin Kerja, keempat masalah Working at Height atau Bekerja di Ketinggian dan terakhir masalah Management of Change (MOC) atau Manajemen Perubahan. Nah, dari kelima topic ini saya membidik masuknya lewat jalur kepemimpinan atau leadership. Sebab lewat kepemimpinanlah 5 hal itu akan bisa dilakukan dengan baik dan benar. Sayangnya masih banyak orang yang belum tahu atau bahkan bermasalah dalam memahami arti kepemimpinan atau leadership ini. Banyak yang memahami leadership sebagai jabatan. Karena dia manajer, maka dia tentu pemimpin. Tapi kalau jadi anak buah, maka tak perlu leadership. Ini adalah pemahaman yang keliru, bahkan menyesatkan.


Cerita inspiratif berikut ini, mungkin akan membuka pemahaman kita semua akan kepemimpinan yang sebenarnya. Setidaknya bisa meninggalkan pemahaman sebelumnya, kalau memang keliru, ke jalur yang benar. Suatu hari Raja Prusia, Frederick Yang Agung, berjalan – jalan di pinggiran kota Berlin yang indah. Di tengah perjalanannya dia bertemu dengan seorang kakek tua – renta yang berpakaian lusuh dan bersahaja, berjalan menghampirinya. Melihat situasi seperti itu Frederick Yang Agung merasa kaget seraya bertanya, “Siapa kamu?”
Sang kakek dengan tegas menjawab, “Saya adalah seorang raja.”
“Raja…?” sahut Frederick sambil menahan tawa, “Di kerajaan mana kamu memerintah?”
Dengan yakin dan mantap sang kakek menimpali, “Saya memerintah diri saya sendiri.”

Jawaban si kakek benar, setiap diri adalah pemimpin. Kepemimpinan tak ada hubungannya dengan jabatan. Kepemimpinan adalah milik setiap orang. Kepemimpinan adalah tindakan, bukan jabatan. Leadership is an action, not a position. Kepemimpinan adalah perilaku kita sehari – hari, bahkan yang sederhana sekalipun. Berlaku jujur, tidak berbohong, sopan adalah kepemimpinan. Mengunjungi kawan yang sakit, silaturahim, mendengarkan curhat seorang sahabat, mengantar istri belanja dan membacakan cerita untuk anak adalah kepemimpinan. Tepat waktu, disiplin, menghormat tamu, berbakti kepada kedua orang tua adalah kepemimpinan. Maka, kalau kita jeli 14 abad yang lalu Rasulullah SAW telah mengingatkan kita semua, “Kullukum ro’in, wakullukum mas’ulun ‘an ro’iyyatihi – Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya (mempertanggungjawabkan) dari yang dipimpinnya.” Dan banyak diantara kita terlalu tinggi mengapresiasi dalil ini sehingga lupa bahwa sebenarnya makna dalil ini begitu sederhana. Begitu dekat dengan kehidupan keseharian kita. Begitu lekat dengan jiwa kita, sebab kepemimpinan adalah fitrah. Kepemimpinan adalah amanah dari Yang Maha Kuasa.

Banyak orang yang menjadi pemimpin tetapi tidak punya jiwa kepemimpinan. Banyak orang yang gagal memimpin karena tidak memahami esensi dari kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang tumbuh dari dalam diri. Tumbuh, tumbuh dan tumbuh sehingga menjadi karakter. Karakter adalah perpaduan sikap, tindakan, perilaku dan kebiasaan yang dibina dari waktu ke waktu. Kepemimpinan bukan yang berasal dari luar seperti jabatan, kedudukan, pangkat dan sebagainya. Kepemimpinan adalah apa yang berasal dari dalam.

Sampai di sini banyak yang terbuka kembali mata pemahamannya, bahwa keberadaan setiap diri adalah penting menyangkut kepemimpinan ini. Terlebih lagi, bagi yang telah mempunyai posisi dan kedudukan yang penting di perusahaan. Dan semuanya akan menjadi efektif, ketika mereka semua menyentuhkan level kepemimpinan mereka dengan sikap kepedulian. Keberhasilan dan kesusksesan hanyalah masalah waktu, sedangkan menikmati prosesnya menjadi hal yang begitu indah. Karena setiap diri telah memahami, menghayati dan memandang pada posisi dan cara pandang yang sama.

KEPEMIMPINAN

0diggsdigg

Dua hari ini saya berturut – turut didaulat memberikan presentasi masalah kepedulian terkait HSE (Health Safety and Environment), kalau bahasa kita dikenal dengan K3L yaitu Kesehatan Keselamatan Kerja dan Lingkungan. Pada hari pertama tak kurang dari 30 orang terdiri dari manajemen dan setingkat supervisor ke atas, yang mengikuti acara workshop tersebut. Di hari kedua lebih dari 50 orang dari tingkat supervisor ke bawah. Sebenarnya ada 5 topik yang dibahas dalam workshop tersebut. Pertama masalah Awareness (kepedulian), kedua masalah PPE (Personal Protective Equipment) atau Alat Pelindung Diri (APD), ketiga masalah Permit To Work (PTW) atau Ijin Kerja, keempat masalah Working at Height atau Bekerja di Ketinggian dan terakhir masalah Management of Change (MOC) atau Manajemen Perubahan. Nah, dari kelima topic ini saya membidik masuknya lewat jalur kepemimpinan atau leadership. Sebab lewat kepemimpinanlah 5 hal itu akan bisa dilakukan dengan baik dan benar. Sayangnya masih banyak orang yang belum tahu atau bahkan bermasalah dalam memahami arti kepemimpinan atau leadership ini. Banyak yang memahami leadership sebagai jabatan. Karena dia manajer, maka dia tentu pemimpin. Tapi kalau jadi anak buah, maka tak perlu leadership. Ini adalah pemahaman yang keliru, bahkan menyesatkan.


Cerita inspiratif berikut ini, mungkin akan membuka pemahaman kita semua akan kepemimpinan yang sebenarnya. Setidaknya bisa meninggalkan pemahaman sebelumnya, kalau memang keliru, ke jalur yang benar. Suatu hari Raja Prusia, Frederick Yang Agung, berjalan – jalan di pinggiran kota Berlin yang indah. Di tengah perjalanannya dia bertemu dengan seorang kakek tua – renta yang berpakaian lusuh dan bersahaja, berjalan menghampirinya. Melihat situasi seperti itu Frederick Yang Agung merasa kaget seraya bertanya, “Siapa kamu?”
Sang kakek dengan tegas menjawab, “Saya adalah seorang raja.”
“Raja…?” sahut Frederick sambil menahan tawa, “Di kerajaan mana kamu memerintah?”
Dengan yakin dan mantap sang kakek menimpali, “Saya memerintah diri saya sendiri.”

Jawaban si kakek benar, setiap diri adalah pemimpin. Kepemimpinan tak ada hubungannya dengan jabatan. Kepemimpinan adalah milik setiap orang. Kepemimpinan adalah tindakan, bukan jabatan. Leadership is an action, not a position. Kepemimpinan adalah perilaku kita sehari – hari, bahkan yang sederhana sekalipun. Berlaku jujur, tidak berbohong, sopan adalah kepemimpinan. Mengunjungi kawan yang sakit, silaturahim, mendengarkan curhat seorang sahabat, mengantar istri belanja dan membacakan cerita untuk anak adalah kepemimpinan. Tepat waktu, disiplin, menghormat tamu, berbakti kepada kedua orang tua adalah kepemimpinan. Maka, kalau kita jeli 14 abad yang lalu Rasulullah SAW telah mengingatkan kita semua, “Kullukum ro’in, wakullukum mas’ulun ‘an ro’iyyatihi – Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya (mempertanggungjawabkan) dari yang dipimpinnya.” Dan banyak diantara kita terlalu tinggi mengapresiasi dalil ini sehingga lupa bahwa sebenarnya makna dalil ini begitu sederhana. Begitu dekat dengan kehidupan keseharian kita. Begitu lekat dengan jiwa kita, sebab kepemimpinan adalah fitrah. Kepemimpinan adalah amanah dari Yang Maha Kuasa.

Banyak orang yang menjadi pemimpin tetapi tidak punya jiwa kepemimpinan. Banyak orang yang gagal memimpin karena tidak memahami esensi dari kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang tumbuh dari dalam diri. Tumbuh, tumbuh dan tumbuh sehingga menjadi karakter. Karakter adalah perpaduan sikap, tindakan, perilaku dan kebiasaan yang dibina dari waktu ke waktu. Kepemimpinan bukan yang berasal dari luar seperti jabatan, kedudukan, pangkat dan sebagainya. Kepemimpinan adalah apa yang berasal dari dalam.

Sampai di sini banyak yang terbuka kembali mata pemahamannya, bahwa keberadaan setiap diri adalah penting menyangkut kepemimpinan ini. Terlebih lagi, bagi yang telah mempunyai posisi dan kedudukan yang penting di perusahaan. Dan semuanya akan menjadi efektif, ketika mereka semua menyentuhkan level kepemimpinan mereka dengan sikap kepedulian. Keberhasilan dan kesusksesan hanyalah masalah waktu, sedangkan menikmati prosesnya menjadi hal yang begitu indah. Karena setiap diri telah memahami, menghayati dan memandang pada posisi dan cara pandang yang sama.

SENYUM DAN DIAM

0diggsdigg

Sebentar lagi, usia sudah mendekati kepala empat. Anak pun sudah empat. Berumah tangga sudah empat kuadrat alias 16 tahun. Banyak hal dan banyak pencapaian yang sudah saya dapatkan dalam kurun waktu itu. Dengan rasa syukur yang mendalam, kiranya inilah karunia terindah yang dianugerahkan Allah kepada saya. Tak berbanding dan tak tertandingi. Alhamdulillah, tak ada yang pantas terucap kecuali pujian itu. Tinggal bagaimana mengelolanya sehingga nikmat itu menjadi berkembang dan berdaya guna keberadaannya. Tidak hilang, tidak rusak, namun justru mengembang, berbuah, berbarokah. Netepi dalil lain syakartum – la’azidannakum.
Maka tatkala, saya ketemu dengan para yunior yang sekarang punya kedudukan dan posisi kunci, dengan kehidupan yang mapan, godaan mulai berdatangan. Obrolan pun berkembang pada arti hidup. Masih banyak orang yang mengukur pencapaian hidup dengan sebuah kedudukan. Makin tinggi kedudukan berarti semakin sukses. Semakin bermartabat, semakin berkelas. Mereka sering berkata, “Wah, seharusnya Mas ini sudah jadi manager. Apalagi usia sudah hampir kepala empat.” Menanggapi hal itu saya hanya tersenyum dan diam saja.

Lain lagi, godaan yang datang ketika saya ketemu dengan para senior. Secara tidak sengaja bincang – bincang pun mengarah pada ukuran kesuksesan hidup. Lain dengan para yunior yang masih banyak berlagak, para senior ini lebih bermutu, biasanya mereka bicara kesuksesan dari berbagai pandangan. Sebagian ada yang meneropong dari jenjang pendidikan. Secara tak sengaja mereka berseloroh, “Sudah rampung belum S3-nya?” Dengan polos dan lugunya, pernyataan itu saya balas dengan senyum dan diam saja.

Sebagian lagi ada yang memandang kesuksesan dari kaca mata kemandirian dan pemberdayaan. Mereka bilang, “Sekarang sudah usaha apa? Dan berapa orang pekerjanya?” Mendengar ucapan itu, saya pun tak kuasa, hanya tersenyum dan diam saja. Sebagain lainnya ada yang memandang kesuksesan hidup ini dari tingkat spiritualitasnya. Dengan enteng dan bangganya mereka berkata, “Sudah pergi ke Kulon belum?” Mendengar kalimat itu, saya pun hanya bisa tersenyum dan diam saja.

Lain lagi jika saya ketemu dengan para ustadz. Ketika mereka berbincang tentang al-ilmu, saya pun terdiam. Tatkala mereka bertanya, “Sudah sampai mana pencapaianmu?” Saya pun tersenyum menanggapinya. Banyak hal yang saya respon dengan senyum dan diam semata. Bukan karena mengiyakan atau menolak. Bukan pula membantah atau mendebat. Justru dengan tersenyum dan diam itulah, saya bisa melihat wajah nyata kehidupan dengan apa adanya. Semakin menenteramkan hati. Mempraktekkan panjangnya diam. Menerampilkan sodakoh senyuman. Dan menambah kedalaman syukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada saya.

Ternyata dengan banyak senyum dan diam, semakin terkuak rahasia – rahasia hidup ini. Maksud – maksud yang tak terungkap, terkadang bisa tertangkap dengan sikap diam ini. Orang yang mau pamer, orang yang pengin dihormati, orang yang berniat baik, orang yang mau berbuat tidak baik, semua terekam dalam diam - sunyi dan senyum ini.

Pun halnya dengan diri sendiri. Dengan senyum dan diam, ternyata mampu mengobsesi diri menjadi lebih baik dan baik. Punya kekuatan dahsyat untuk berbuat baik untuk sesama dan sekitarnya. Memperbaiki diri dan terus berusaha baik selalu. Begitu elok ketika jiwa dan raga menyatu dalam kesatuan nuansa diam dan tersenyum ini. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (Rowahu Bukhory (5672), Muslim dalam bab al-Luqothoh (14), Abu Dawud (91), An-Nasa’i (401) At-Tirmidzi (809)). Dan firman Allah:”Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” An-Nisaa : 114.

Maka, saya pun malu sejatinya, jika harus menjawab setiap pertanyaan itu semua - apalagi dengan maksud mengimbangi lawan bicara. Sebab bagi saya firman Allah dalam Surat Ali Imron 139 sudah mencukupinya. Allah berfirman, “Janganlah kamu merasa hina, dan janganlah kamu bersedih hati, sejatinya kamulah orang-orang yang paling mulia, jika kamu menjadi orang-orang yang beriman.” Apalagi yang mau dicari?

Tatkala kita sudah merasa berada di puncak, kemudian sekeliling kita ramai menawarkan dan membicarakan hal – hal yang banyak, berteriak, adakalanya baik dan kebanyakan angin lalu semata, tak lain sikap yang relevan adalah memberinya senyum dan diam saja. Sebab kalau direspon tak bakal cukup waktu. Tak bakal rampung urusannya. Termasuk ketika ada yang bertanya, “Sekarang istrinya sudah berapa?” Saya pun menoleh, menatap sang penanya, kemudian tersenyum dan diam saja.

BULAN

Akhir - akhir ini saya ‘merasakan’ kebiasaan baru. Suatu ketika, di saat malam dating menjelang, pasti mencuri – curi waktu mendongak ke atas untuk mencari dan melihat - lihat bulan. Tidak setiap malam memang, tetapi dalam 30 hari bisa dipastikan saya melakukannya. Apakah sekarang bulan mati, berbentuk sabit, lingkaran tak sempurna atau bulat penuh, tanda purnama. Selain mengasyikkan, bermain mata di langit, melihat suasana bintang – gemintang malam, ada kesejukan tersendiri. Tentunya teringat masa indah di waktu kecil di kampung tempo dulu. Bermain di bawah sinar bulan purnama, bersama kawan – kawan. Lupakan sejenak apa itu belajar. Mari keluar rumah, sambut purnama dengan gembira. Sebab hanya saat purnama itulah malam menjadi terang. Selain purnama, tentu tak bisa petak umpet, bentengan, dan berbagai mainan anak lainnya. Karena gelap.
Add this page to your favorite Social Bookmarking websites
Reddit! Del.icio.us! Mixx! Free and Open Source Software News Google! Live! Facebook! StumbleUpon! TwitThis Joomla Free PHP

 
 
 

forum


ShoutMix chat widget

forum

 
Copyright © Ded Love Bie